AYAT
MUHKAMAT DAN MUTASYABIHAT
A. Muhkamat
Menurut
bahasa, muhkam berasal dari dari kata – kata “Hakamtu dabbah wa ahkamtu“
artinya saya menahan binatang itu.kata al hukm disini berarti memutuskan antara
antara dua hal atau perkara. maka Hakim adalah orang yang mencegah kedzaliman
dan memisahkan antara dua pihak yang bersengketa serta memisahkan antara yang
haq dengan yang batil, antara kejujuran dan kebohongan. dikatakan juga “Hakamtu
as safih wa ahkamtuhu“ artinya saya memegang kedua tangannya.selain itu ada
yang mengatakan “ Hakamtu dabbah wa ahkamtuha “ saya membuatkan hikmah pada
binatang itu.Hikmah disini maksudnya adalah kendali yang dipasang pada leher,
sebab ia berfungsi untuk mengendalikannya agar tidak bergerak secara liar .
Dari pengertian inilah lahir kata hikmah , karena ia dapat mencegah pemiliknya
dari hal – hal yang tidak pantas.
Ihkam al
Kalam berarti mengokohkan perkataan dengan memisahkan berita yang benar dari
yang salah dan urusan yang lurus dari yang sesat. Dengan pengertian itulah
Allah mensifati Al Qur’an Al Karim bahwa seluruhnya adalah Muhkam.sebagaimana
ditegaskan dalam FirmanNya.
“Alif lam ra , inilah sebuah kitab
yang ayat – ayatnya di susun rapi / dimuhkamkan ( dikokohkan ) dan dijelaskan
secara rinci yang diturunkan dari sisi yang maha bijaksana lagi maha tahu . (
QS : Hud : 1 )”
Al Qur’an
itu seluruhnya Muhkam, maksudnya yaitu seluruh kata – katanya kokoh,fasih dan
membedakan antara yang haq dan yang batil serta antara yang benar dan yang
dusta. inilah yang dimaksud dengan Al Ihkam Al ‘Am atau makna Muhkam secara
umum.. dengan pengertian itqan ( kokoh, indah ) dalam arti sebagian ayat Al
Qur’an membenarkan sebagian yang lainnya, jika Al Qur’an memerintahkan sesuatu
hal maka ia tidak akan memerintahkan kebalikannya ditempat lain, tetapi ia akan
memerintahkannya pula atau yang serupa dengannya.demikian pula dalam hal
larangan dan berita. Tidak pernah ada pertentangan dan perselisihan dalam Al Quran
. sebagaimana Firmannnya :
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur'an? Kalau kiranya Al Qur'an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.”
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur'an? Kalau kiranya Al Qur'an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.”
B. Mutasyabihat
Sedang kata “Mutasyabih” para ahli
bahasa memberikan arti persamaan / kesamaran yang mengarah pada
keserupaan.misalnya pada kata : Tasyabahu dan Isytabaha. Keduanya berarti saling menyerupai yang satu
dengan yang lain.
sehingga keduanya itu mirip bentuknya sampai sukar dibedakan.
Sebagaimana ayat berikut :
sehingga keduanya itu mirip bentuknya sampai sukar dibedakan.
Sebagaimana ayat berikut :
“Sesungguhnya
sapi itu masih samara bagi kami. ( Al Baqarah : 70 )”
Dan juga ayat berikut:
Dan juga ayat berikut:
“Mereka
diberi ( buah – buahan ) yang serupa / sama. ( Al Baqarah : 25 )”
1.
Macam –
macam Mutasyabih
a.
Ayat – ayat
mutasyabihat itu tidak dapat diketahui oleh seluruh umat manusia kecuali Allah
SWT. seperti Dzat Allah, Hakikat sifat – sifatnya, hari kiamat dll.hal ini
berdasar keterangan “Dan pada sisi
Allah-lah kunci-kunci semua yang gaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia
sendiri,..Dan seperti ayat 34 Surat Lukman.
artinya : “Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati.”
artinya : “Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati.”
b.
Ayat–ayat
mutasyabihat yang dapat diketahui oleh semua orang dengan jalan pembahsan dan
pengkajian yang mendalam. Misalnya : - Merinci yang Mujmal : Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah
orang-orang musyrikin itu di mana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah
mereka. Kepunglah mereka dan intailah di tempat pengintaian. Jika mereka
bertobat dan mendirikan salat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan
kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (At Taubah : 5).” Menentukan yg Musytarak.
c.
Ayat–ayat
mutasyabihat yang hanya dapat diketahui oleh para pakar ilmu dan sain bukan
oleh semua orang. Hal ini termasuk urusan – urusan yang hanya diketahui oleh
Allah dan orang – orang Rosikh(mendalam) ilmu pengetahuannya.
2.
Metodologi penafsiran ayat mutasyabihat
Yang
pasti bahwa kedua metodologi baik Salaf dan Khalaf keduanya benar dan tidak
mensifati Allah dengan yang tidak layak baginya.
Singkat
kata, cara pertama yang benar(metodologi Salaf) dalam memahami ayat
mutasyabihat dalam Al-Quran adalah mempercayai sesuai yang Allah maksudkan
tanpa mengatakan artinya , dan tanpa “bagaimana”, yaitu tanpa mensifati Allah
duduk, berdiri, bertempat, bersifat indrawi, atau arti lain dan dikenakan pada
manusia/makhluk. Dengan mengikuti metode ini, kita mengatakan, “Allah istiwa
yang pantas bagi-Nya – yang bukan duduk, punya yad yang pantas
bagi-Nya – yang bukan tangan, dan punya wajh yang pantas bagi-Nya – yang bukan
muka”
d. Cara
yang benar kedua (metodologi
khalaf) adalah dengan memberi makna yang sesuai agama dan bahasa. Mengikuti
metode ini, kita mengatakan “istiwa artinya ‘Dia menguasai Singgasana’, yad
artinya ‘kasih/perhatian’-Nya, wajh artinya ‘Zat Allah’, ‘Kekuasaan’, atau
‘Kiblat’”. Semoga Allah melindungi kita agar tidak terjatuh ke dalam perangkap
menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Imam Abu Ja’far at-Tahawi, dalam
Al-’Aqidatut-Tahawiyyah: “Siapa yang mensifati Allah dengan sesuatu yang
ditujukan kepada manusia telah melakukan penghinaan”
C. Perbedaan
Para ulama dalam memberikan pengertian muhkamat dan mutasyabihat, yakni sebegai
berikut:
a). Ulama golongan Ahlus sunnah Wal Jama’ah
mengatakan, lafal muhkam adalah lafal ynag diketahui makna maksudnya,baik
karena memang sudah jelas artinya maupun karena dita’wilkan. Sedangkan lafal
mutasyabih adalah lafal yang pengetahuan artinya hanya dimonopoli Alloh
SWT.Manusia tidak ada yang bisa mengetahuinya. Contoh terjadinya hari kiamat,
keluarnya Dajjal, arti huruf-huruf Muqaththa’ah.
b). Ulama’ golongan Hanafiyah mengatakana, lafal
muhkam ialah lafal yang jelas petunjuknya, dan tidak mungkin telah dinasakh (
dihapuskan hukumnya ). Sedang lafal mutasyabih adalah lafal yang sama maksud
petunjuknya, sehingga tidak terjangkau oleh akal pikiran manusia atau pun tidak
tercantum dalam dalil-dalil nash (teks dalil-dalil). Sebab lafal mutasyabih itu
termasuk hal-hal yang diketahui Alloh SWT saja artinya.Contohnya seperti
hal-hal yang ghaib.
c). Mayoritas Ulama’ golongan ahlul fiqh yang berasal
dari pendapat sahabat Ibnu Abbas mengatakan, lafal muhkam ialah lafal yang
tidak bisa dita’wilkan kecuali satu arah / segi saja. Sedangkan lafal
mutasyabih adalah artinya dapat dita’wilkan dalam beberapa arah / segi, karena
masih sama. Misalnya, seperti masalah sorga, neraka, dan sebagainya.
d). Imam Ibnu Hanbal dan pengikut-pengikutnya mengatakan, lafal muhkam adalah lafal yang bisa berdiri sendiri atau telah jelas dengan sendirinya tanpa membutuhkan keterangan yang lain. Sedang lafal yang tidak bisa berdiri sendiri adalah lafal yang mutasyabih, yang membutuhkan penjelasan arti maksudnya, karena adanya bermacam- macam ta’wilan terhadap lafal tersebut. Contohnya seperti lafal bermakna ganda ( lafal musytarak ) lafal yang asing (ghorib), lafal yang berarti lain (lafal majaz), dan sebagainya.
d). Imam Ibnu Hanbal dan pengikut-pengikutnya mengatakan, lafal muhkam adalah lafal yang bisa berdiri sendiri atau telah jelas dengan sendirinya tanpa membutuhkan keterangan yang lain. Sedang lafal yang tidak bisa berdiri sendiri adalah lafal yang mutasyabih, yang membutuhkan penjelasan arti maksudnya, karena adanya bermacam- macam ta’wilan terhadap lafal tersebut. Contohnya seperti lafal bermakna ganda ( lafal musytarak ) lafal yang asing (ghorib), lafal yang berarti lain (lafal majaz), dan sebagainya.
e). Imamul Haramain, bahwa lafal muhkam ialah lafal
yang tepat susunan, dan tertibnya secara biasa, sehingga mudah dipahami arti
dan maksudnya. Sedangkan lafal mutasyabih ialah lafal yang makna maksudnya
tidak terjangkau oleh ilmu bahasa manusia, kecuali jika disertai dengan adanya
tanda-tanda / isyarat yang menjelaskannya. Contoh seperti lafal yang musytarak,
mutlak, khafi (samar), dan sebagianya.
f). Imam Ath-Thibi mengatakan,lafal muhkam ialah lafal
yang jelas maknanya, sehingga tidak mengakibatkan kemusykilan / kesulitan arti.
Sebab, lafal muhkam itu diambil dari lafal ihkam (Ma’khuudzul ihkaami) yang
berarti baik / bagus. Contohnya seperti lafal yang dhahir, lafal yang tegas,
dan sebagainya. Sedangkan lafal yang mutasyabih ialah sebaliknya, yakni yang
sulit dipahami, sehingga mengakibatkan kemusykilan / kesukaran.Contohnya
seperti lafal musytarak, mutlak, dan sebagainya.
g). Imam Fakhruddin Ar-razi berpendapat lafal muhkam
ialah lafal yang petunjuk nya kepada sesuatu makna itu kuat, seperti lafal yang
nash, atau yang jelas,dan sebagianya. Sedangkan lafal mutasyabih ialah lafal
yang petunjuknya tidak kuat, seperti lafal yang global, yang musykil, yang
dita’wili, dan sebagainya.
h). Ikrimah dan Qotadah mengatakan, lafal muhkam ialah
lafal yang isi maknanya dapat diamalkan, karena sudah jelas dan tegas. Seperti
umumnya lafal Alquran. Sedangkan lafal mutasyabih ialah lafal yang isi maknanya
tidak perlu diamalkan, melainkan cukup diimani / diyakini eksistensinya saja.
i). Sebagian Ulama berpendapat, bahwa lafal muhkam
ialah lafal yang ma’qul maknanya atau yang rasional artinya, yakni lafal yang
artinya mudah diterima akal pikiran, Tetapi lafal mutasyabih ialah
sebaliknya,yaitu lafal yang tidak masuk akal, atau tidak mudah diterima akal
pikiran.
j). Sebagian ulama lain mengatakan,lafal muhkam itu
ialah lafal yang tidak dinashkan, atau tidak dihapuskan isi hukumnya, seperti
kebanyakan ayat-ayat Alquran atau hadis Nabi SAW. Sedangkan lafal mutasyabih
ialah lafal yang sudah dinashkan hukumnya, sehingga sudah tidak berlaku lagi.
Tetapi mudah diketahui oleh orang umum / awam, maka termasuk yang mutasyabih.
Dari pengertian yang diberikan para
ulama diatas Maka pengertian Muhkam adalah lafal yang artinya dapat diketahui
dengan jelas dan kuat secara berdiri sendiri tanpa di ta’wilkan karena susunan
tertibnya tepat dan tidak musykil karena pengertiannya masuk aqal sehingga
dapat diamalkan dan tidak di nasakh. Sedangkan pengertian Mutasyabih ialah
lafal Al Qur’an yang artinya samar, sehingga tidak dapat dijangkau aqal manusia
karena bisa dita’wilkan macam – macam sehingga tidak dapat berdiri sendiri
karena susunan tertibnya kurang tepat sehingga menimbulkan kesulitan disebabkan
penun jukan artinya tidak kuat, oleh karenanya cukup diyakini saja dan tidak
perlu diamalkan, karena merupakan ilmu yang hanya dimonopoli oleh Allah SWT.
D. Dasar dari
ayat Muhkamamat dan Mutasyabihat adalah
Dia-lah yang
menurunkan Al Kitab (Al Qur'an) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat
yang muhkamaat itulah pokok-pokok isi Al Qur'an dan yang lain (ayat-ayat)
mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan,
maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan
fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya
melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami
beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan
kami." Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan
orang-orang yang berakal. ( Al Imran : 7 )
E. Pendapat ulama tetang ayat-ayat yang
terkandung daam Al-quran
Dalam hal ini ada tiga pendapat
ulama mengenai masalah tersebut :
Pendapat pertama mengatakan bahwa semua ayat Al Qur’an itu Muhkam (QS. Hud : 1 ). Suatu kitab yang ayatnya tersusun rapi. Orientasi pendapat ini dititik beratkan pada masalah kebaikan,kerapian susunan tertib ayat- ayatnya ,kekuatan dan kemutlakan kebenarannya yang absolut yang tidak ditimpa kerusakan dan kejanggalan lafal maupun maknanya.sehingga seperti bangunan kokoh tak tergoyahkan.
Pendapat pertama mengatakan bahwa semua ayat Al Qur’an itu Muhkam (QS. Hud : 1 ). Suatu kitab yang ayatnya tersusun rapi. Orientasi pendapat ini dititik beratkan pada masalah kebaikan,kerapian susunan tertib ayat- ayatnya ,kekuatan dan kemutlakan kebenarannya yang absolut yang tidak ditimpa kerusakan dan kejanggalan lafal maupun maknanya.sehingga seperti bangunan kokoh tak tergoyahkan.
Pendapat kedua mengatakan bahwa
semua ayat Al Qur’an itu Mutasyabih (QS. Az Zumar : 23 ) dalam arti bagian yang
satu bersesuaian dengan bagian yang lain. Pendapat ini menfokuskan pada segi
relevansi,Homogenitas dan keserasian susunan kata dan keterkaitan inti isi
maknanya seluruh ataupun sebagian ayat / kalimat dari yang lain baik soal
aturan hukumnya atau soal keindahan sastra seni balaghahnya yang mencapai
klimaks kemukjizatan.
Pendapat ketiga mengatakan bahwa Al
Qur’an itu terdiri dari dua bagian yakni Muhkam dan Mutasyabih ( Al Imran : 7
). Pendapat ini berorientasi pada segi realitas dan eksistensi kitab suci
ini,baik dalam segi aturan hukumnya ataupun dalam segi susunan ayat / surat
yang betul betul jelas dan lugas, disamping ada pula yang samar
lentur,fleksibel dan elastis.
F. Perbedaan
pendapat para ulama tentang penafsiran ayat-ayat mutasyabihat
Mengenai
apakah ayat – ayat mutasyabihat itu harus ditafsiri agar diketahui arti
maksudnya untuk diamalkan ? atau cukup diimani eksistensinya saja,soal artinya
diserahkan sepenuhnya pada Allah SWT saja ? dalam hal ini ada 3 pendapat
Jumhur Ulama
Ahlus sunnah dan sebagian Ahlu Ra’yi mengatakan Arti dan maksud ayat –ayat
mutasyabihat itu tidak perlu ditafsiri tapi cukup diimani adanaya.
Segolongan Ulama Ahlus sunnah dan Kebanyakan Ahlu Ra’yi berpendapat bahwa perlu menta’wilkan ayat mutasyabihat itu yang relevan dengan keagungan Allah.
Segolongan Ulama lain diantaranya Ibnu Daqiqil ’id menengahi dua pendapat diatas .yaitu bila menta’wilkan ayat–ayat mutasyabihat itu relevan dengan bahasa Arab maka harus diterima dan tidak boleh di ingkari, dan jika jauh maka harus di Tawaqqufkan (ditangguhkan).
Segolongan Ulama Ahlus sunnah dan Kebanyakan Ahlu Ra’yi berpendapat bahwa perlu menta’wilkan ayat mutasyabihat itu yang relevan dengan keagungan Allah.
Segolongan Ulama lain diantaranya Ibnu Daqiqil ’id menengahi dua pendapat diatas .yaitu bila menta’wilkan ayat–ayat mutasyabihat itu relevan dengan bahasa Arab maka harus diterima dan tidak boleh di ingkari, dan jika jauh maka harus di Tawaqqufkan (ditangguhkan).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar