Kamis, 20 Maret 2014

AYAT MUHKAMAT DAN MUTASYABIHAT

AYAT MUHKAMAT DAN MUTASYABIHAT
A.    Muhkamat
Menurut bahasa, muhkam berasal dari dari kata – kata “Hakamtu dabbah wa ahkamtu“ artinya saya menahan binatang itu.kata al hukm disini berarti memutuskan antara antara dua hal atau perkara. maka Hakim adalah orang yang mencegah kedzaliman dan memisahkan antara dua pihak yang bersengketa serta memisahkan antara yang haq dengan yang batil, antara kejujuran dan kebohongan. dikatakan juga “Hakamtu as safih wa ahkamtuhu“ artinya saya memegang kedua tangannya.selain itu ada yang mengatakan “ Hakamtu dabbah wa ahkamtuha “ saya membuatkan hikmah pada binatang itu.Hikmah disini maksudnya adalah kendali yang dipasang pada leher, sebab ia berfungsi untuk mengendalikannya agar tidak bergerak secara liar . Dari pengertian inilah lahir kata hikmah , karena ia dapat mencegah pemiliknya dari hal – hal yang tidak pantas.
Ihkam al Kalam berarti mengokohkan perkataan dengan memisahkan berita yang benar dari yang salah dan urusan yang lurus dari yang sesat. Dengan pengertian itulah Allah mensifati Al Qur’an Al Karim bahwa seluruhnya adalah Muhkam.sebagaimana ditegaskan dalam FirmanNya.
“Alif lam ra , inilah sebuah kitab yang ayat – ayatnya di susun rapi / dimuhkamkan ( dikokohkan ) dan dijelaskan secara rinci yang diturunkan dari sisi yang maha bijaksana lagi maha tahu . ( QS : Hud : 1 )”
Al Qur’an itu seluruhnya Muhkam, maksudnya yaitu seluruh kata – katanya kokoh,fasih dan membedakan antara yang haq dan yang batil serta antara yang benar dan yang dusta. inilah yang dimaksud dengan Al Ihkam Al ‘Am atau makna Muhkam secara umum.. dengan pengertian itqan ( kokoh, indah ) dalam arti sebagian ayat Al Qur’an membenarkan sebagian yang lainnya, jika Al Qur’an memerintahkan sesuatu hal maka ia tidak akan memerintahkan kebalikannya ditempat lain, tetapi ia akan memerintahkannya pula atau yang serupa dengannya.demikian pula dalam hal larangan dan berita. Tidak pernah ada pertentangan dan perselisihan dalam Al Quran . sebagaimana Firmannnya :
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur'an? Kalau kiranya Al Qur'an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.
 
B.     Mutasyabihat
Sedang kata “Mutasyabih” para ahli bahasa memberikan arti persamaan / kesamaran yang mengarah pada keserupaan.misalnya pada kata : Tasyabahu dan Isytabaha.  Keduanya berarti saling menyerupai yang satu dengan yang lain.
sehingga keduanya itu mirip bentuknya sampai sukar dibedakan.
Sebagaimana ayat berikut :
“Sesungguhnya sapi itu masih samara bagi kami. ( Al Baqarah : 70 )
Dan juga ayat berikut:
“Mereka diberi ( buah – buahan ) yang serupa / sama. ( Al Baqarah : 25 )”
1.      Macam – macam Mutasyabih
a.       Ayat – ayat mutasyabihat itu tidak dapat diketahui oleh seluruh umat manusia kecuali Allah SWT. seperti Dzat Allah, Hakikat sifat – sifatnya, hari kiamat dll.hal ini berdasar keterangan “Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang gaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri,..Dan seperti ayat 34 Surat Lukman.
artinya : “Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati.”
b.      Ayat–ayat mutasyabihat yang dapat diketahui oleh semua orang dengan jalan pembahsan dan pengkajian yang mendalam. Misalnya : - Merinci yang Mujmal : Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu di mana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah di tempat pengintaian. Jika mereka bertobat dan mendirikan salat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (At Taubah : 5).” Menentukan yg Musytarak.
c.       Ayat–ayat mutasyabihat yang hanya dapat diketahui oleh para pakar ilmu dan sain bukan oleh semua orang. Hal ini termasuk urusan – urusan yang hanya diketahui oleh Allah dan orang – orang Rosikh(mendalam) ilmu pengetahuannya.
2.      Metodologi penafsiran ayat  mutasyabihat
Yang pasti bahwa kedua metodologi baik Salaf dan Khalaf keduanya benar dan tidak mensifati Allah dengan yang tidak layak baginya.
Singkat kata, cara pertama yang benar(metodologi Salaf) dalam memahami ayat mutasyabihat dalam Al-Quran adalah mempercayai sesuai yang Allah maksudkan tanpa mengatakan artinya , dan tanpa “bagaimana”, yaitu tanpa mensifati Allah duduk, berdiri, bertempat, bersifat indrawi, atau arti lain dan dikenakan pada manusia/makhluk. Dengan mengikuti metode ini, kita mengatakan, “Allah istiwa yang pantas bagi-Nya – yang bukan duduk, punya yad yang pantas bagi-Nya – yang bukan tangan, dan punya wajh yang pantas bagi-Nya – yang bukan muka”
d.      Cara yang benar kedua (metodologi khalaf) adalah dengan memberi makna yang sesuai agama dan bahasa. Mengikuti metode ini, kita mengatakan “istiwa artinya ‘Dia menguasai Singgasana’, yad artinya ‘kasih/perhatian’-Nya, wajh artinya ‘Zat Allah’, ‘Kekuasaan’, atau ‘Kiblat’”. Semoga Allah melindungi kita agar tidak terjatuh ke dalam perangkap menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Imam Abu Ja’far at-Tahawi, dalam Al-’Aqidatut-Tahawiyyah: “Siapa yang mensifati Allah dengan sesuatu yang ditujukan kepada manusia telah melakukan penghinaan”
C.    Perbedaan Para ulama dalam memberikan pengertian muhkamat dan mutasyabihat, yakni sebegai berikut:
a). Ulama golongan Ahlus sunnah Wal Jama’ah mengatakan, lafal muhkam adalah lafal ynag diketahui makna maksudnya,baik karena memang sudah jelas artinya maupun karena dita’wilkan. Sedangkan lafal mutasyabih adalah lafal yang pengetahuan artinya hanya dimonopoli Alloh SWT.Manusia tidak ada yang bisa mengetahuinya. Contoh terjadinya hari kiamat, keluarnya Dajjal, arti huruf-huruf Muqaththa’ah.
b). Ulama’ golongan Hanafiyah mengatakana, lafal muhkam ialah lafal yang jelas petunjuknya, dan tidak mungkin telah dinasakh ( dihapuskan hukumnya ). Sedang lafal mutasyabih adalah lafal yang sama maksud petunjuknya, sehingga tidak terjangkau oleh akal pikiran manusia atau pun tidak tercantum dalam dalil-dalil nash (teks dalil-dalil). Sebab lafal mutasyabih itu termasuk hal-hal yang diketahui Alloh SWT saja artinya.Contohnya seperti hal-hal yang ghaib.
c). Mayoritas Ulama’ golongan ahlul fiqh yang berasal dari pendapat sahabat Ibnu Abbas mengatakan, lafal muhkam ialah lafal yang tidak bisa dita’wilkan kecuali satu arah / segi saja. Sedangkan lafal mutasyabih adalah artinya dapat dita’wilkan dalam beberapa arah / segi, karena masih sama. Misalnya, seperti masalah sorga, neraka, dan sebagainya.
d). Imam Ibnu Hanbal dan pengikut-pengikutnya mengatakan, lafal muhkam adalah lafal yang bisa berdiri sendiri atau telah jelas dengan sendirinya tanpa membutuhkan keterangan yang lain. Sedang lafal yang tidak bisa berdiri sendiri adalah lafal yang mutasyabih, yang membutuhkan penjelasan arti maksudnya, karena adanya bermacam- macam ta’wilan terhadap lafal tersebut. Contohnya seperti lafal bermakna ganda ( lafal musytarak ) lafal yang asing (ghorib), lafal yang berarti lain (lafal majaz), dan sebagainya.
e). Imamul Haramain, bahwa lafal muhkam ialah lafal yang tepat susunan, dan tertibnya secara biasa, sehingga mudah dipahami arti dan maksudnya. Sedangkan lafal mutasyabih ialah lafal yang makna maksudnya tidak terjangkau oleh ilmu bahasa manusia, kecuali jika disertai dengan adanya tanda-tanda / isyarat yang menjelaskannya. Contoh seperti lafal yang musytarak, mutlak, khafi (samar), dan sebagianya.
f). Imam Ath-Thibi mengatakan,lafal muhkam ialah lafal yang jelas maknanya, sehingga tidak mengakibatkan kemusykilan / kesulitan arti. Sebab, lafal muhkam itu diambil dari lafal ihkam (Ma’khuudzul ihkaami) yang berarti baik / bagus. Contohnya seperti lafal yang dhahir, lafal yang tegas, dan sebagainya. Sedangkan lafal yang mutasyabih ialah sebaliknya, yakni yang sulit dipahami, sehingga mengakibatkan kemusykilan / kesukaran.Contohnya seperti lafal musytarak, mutlak, dan sebagainya.
g). Imam Fakhruddin Ar-razi berpendapat lafal muhkam ialah lafal yang petunjuk nya kepada sesuatu makna itu kuat, seperti lafal yang nash, atau yang jelas,dan sebagianya. Sedangkan lafal mutasyabih ialah lafal yang petunjuknya tidak kuat, seperti lafal yang global, yang musykil, yang dita’wili, dan sebagainya.
h). Ikrimah dan Qotadah mengatakan, lafal muhkam ialah lafal yang isi maknanya dapat diamalkan, karena sudah jelas dan tegas. Seperti umumnya lafal Alquran. Sedangkan lafal mutasyabih ialah lafal yang isi maknanya tidak perlu diamalkan, melainkan cukup diimani / diyakini eksistensinya saja.
i). Sebagian Ulama berpendapat, bahwa lafal muhkam ialah lafal yang ma’qul maknanya atau yang rasional artinya, yakni lafal yang artinya mudah diterima akal pikiran, Tetapi lafal mutasyabih ialah sebaliknya,yaitu lafal yang tidak masuk akal, atau tidak mudah diterima akal pikiran.
j). Sebagian ulama lain mengatakan,lafal muhkam itu ialah lafal yang tidak dinashkan, atau tidak dihapuskan isi hukumnya, seperti kebanyakan ayat-ayat Alquran atau hadis Nabi SAW. Sedangkan lafal mutasyabih ialah lafal yang sudah dinashkan hukumnya, sehingga sudah tidak berlaku lagi. Tetapi mudah diketahui oleh orang umum / awam, maka termasuk yang mutasyabih.
Dari pengertian yang diberikan para ulama diatas Maka pengertian Muhkam adalah lafal yang artinya dapat diketahui dengan jelas dan kuat secara berdiri sendiri tanpa di ta’wilkan karena susunan tertibnya tepat dan tidak musykil karena pengertiannya masuk aqal sehingga dapat diamalkan dan tidak di nasakh. Sedangkan pengertian Mutasyabih ialah lafal Al Qur’an yang artinya samar, sehingga tidak dapat dijangkau aqal manusia karena bisa dita’wilkan macam – macam sehingga tidak dapat berdiri sendiri karena susunan tertibnya kurang tepat sehingga menimbulkan kesulitan disebabkan penun jukan artinya tidak kuat, oleh karenanya cukup diyakini saja dan tidak perlu diamalkan, karena merupakan ilmu yang hanya dimonopoli oleh Allah SWT.
D.    Dasar dari ayat Muhkamamat dan Mutasyabihat adalah
Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur'an) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat itulah pokok-pokok isi Al Qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal. ( Al Imran : 7 )
E.      Pendapat ulama tetang ayat-ayat yang terkandung daam Al-quran
Dalam hal ini ada tiga pendapat ulama mengenai masalah tersebut :
Pendapat pertama mengatakan bahwa semua ayat Al Qur’an itu Muhkam (QS. Hud : 1 ). Suatu kitab yang ayatnya tersusun rapi. Orientasi pendapat ini dititik beratkan pada masalah kebaikan,kerapian susunan tertib ayat- ayatnya ,kekuatan dan kemutlakan kebenarannya yang absolut yang tidak ditimpa kerusakan dan kejanggalan lafal maupun maknanya.sehingga seperti bangunan kokoh tak tergoyahkan.
Pendapat kedua mengatakan bahwa semua ayat Al Qur’an itu Mutasyabih (QS. Az Zumar : 23 ) dalam arti bagian yang satu bersesuaian dengan bagian yang lain. Pendapat ini menfokuskan pada segi relevansi,Homogenitas dan keserasian susunan kata dan keterkaitan inti isi maknanya seluruh ataupun sebagian ayat / kalimat dari yang lain baik soal aturan hukumnya atau soal keindahan sastra seni balaghahnya yang mencapai klimaks kemukjizatan.
Pendapat ketiga mengatakan bahwa Al Qur’an itu terdiri dari dua bagian yakni Muhkam dan Mutasyabih ( Al Imran : 7 ). Pendapat ini berorientasi pada segi realitas dan eksistensi kitab suci ini,baik dalam segi aturan hukumnya ataupun dalam segi susunan ayat / surat yang betul betul jelas dan lugas, disamping ada pula yang samar lentur,fleksibel dan elastis.

F.     Perbedaan pendapat para ulama tentang penafsiran ayat-ayat mutasyabihat
Mengenai apakah ayat – ayat mutasyabihat itu harus ditafsiri agar diketahui arti maksudnya untuk diamalkan ? atau cukup diimani eksistensinya saja,soal artinya diserahkan sepenuhnya pada Allah SWT saja ? dalam hal ini ada 3 pendapat

Jumhur Ulama Ahlus sunnah dan sebagian Ahlu Ra’yi mengatakan Arti dan maksud ayat –ayat mutasyabihat itu tidak perlu ditafsiri tapi cukup diimani adanaya.
Segolongan Ulama Ahlus sunnah dan Kebanyakan Ahlu Ra’yi berpendapat bahwa perlu menta’wilkan ayat mutasyabihat itu yang relevan dengan keagungan Allah.
Segolongan Ulama lain diantaranya Ibnu Daqiqil ’id menengahi dua pendapat diatas .yaitu bila menta’wilkan ayat–ayat mutasyabihat itu relevan dengan bahasa Arab maka harus diterima dan tidak boleh di ingkari, dan jika jauh maka harus di Tawaqqufkan (ditangguhkan).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar