Kamis, 20 Maret 2014

BA'I MURABAHAH

BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang Masalah
Dalam ajaran islam kita dianjurkan berhubungan dengan sesama manusia (muamalah)/ hablumminanas selain berhubungan dengan Tuhan/ habluminallah, hubungan dengan sesama manusia berifat horizontal artinya kita membutuhkan perantara tapi hubungan dengan Tuhan bersifat vertikal artinya  langsung (direct) tanpa perantara.
Membahas hubungan sesama manusia kita diharuskan mempelajari etika-etika dan norma baik yang terdapat dalam ajaran agama maupun dalam masyarakat tersebut, perilaku muamalah tidak diperbolehkan melanggar aturan yang ditetapkan dalam agama dan juga tidak diperkenankan melampaui tradisi masyarakat bersangkutan.
Diera modern seperti ini muamalah sudah banyak macamnya dan bahkan Al-quran dan hadist pun yang dijadikan sebagai rujukan dan sumber utama hukum dalam agama islam mulai ada penafsiran dan penta’wilan suatu ayat atau hadist, contohnya hal murababah.
Murabahah adalah salah satu produk dari lembaga keuangan syariah, diantara banyaknya produk lembaga keunggan syariah lainnya.
Dari pembahasan diatas penulis tertarik untuk membahas salah satun produk  keuangan syariah yaitu BA’I MURABAHAH untuk mengetahuai apa itu produk murabahah itu, sistemnya, dan landasan hukumnya.

B.     Rumusan Masalah
1.    Apa definisi murabahah
2.    Bagaimana sitem murabahah
3.    Apa dasar hukum murabahah
4.    Apa saja rukun dan syarat murabahah
5.    Ketentuan umum murabahah

C.     Pembatasan Masalah
1.    Apa definisi murabahah
2.    Bagaimana sitem murabahah
3.    Apa dasar hukum murabahah
4.    Apa saja rukun dan syarat murabahah
5.    Ketentuan umum murabahah

D.    Tujuan  
1.      Untuk mengkaji murabahah
2.      Untuk mengetahui  dasar hukum, sistem dan syarat serta rukun murabahah
3.      Memberikan pengetahuan baru bagi siwa dan siwi tentang murabahah
4.      Utuk memenuhi tugas  fiqih muamalah

E.     Manfaat
1.      Menyediakan informasi mengenai murabahah
2.      Memberikan gambaran mengenai sistem murabahah
3.      Mengetahui secara jelas tentang rukun, syrat dan dasar hukum murabahah























BAB II
BA’I MURABAHAH
Dewasa ini lembaga keuangan berlabel syari’at berkembang dalam skala besar dengan menawarkan produk-produknya yang beraneka ragam dengan istilah-istilah berbahasa Arab.  Banyak masyarakat yang masih bingung dengan istilah-istilah tersebut dan masih ragu apakah benar semua produk tersebut adalah benar-benar jauh dari pelanggaran syari’at ataukah hanya rekayasa semata.
Melihat banyaknya pertanyaan seputar ini maka dalam rubrik fikih kali ini kami angkat salah satu produk tersebut untuk melihat kehalalannya dalam tinjauan fikih islami.
Jual beli Murabahah (Bai’ al-Murabahah) demikianlah istilah yang banyak diusung lembaga keuangan tersebut sebagai bentuk dari Financing (pembiayaan) yang memiliki prospek keuntungan yang cukup menjanjikan. Sehingga semua atau hampir semua lembaga keuangan syari’at menjadikannya sebagai produk financing dalam pengembangan modal mereka
Jual beli Murabahah yang dilakukan lembaga keuangan syari’at ini dikenal dengan nama-nama sebagai berikut:
  1. al-Murabahah lil Aamir bi Asy-Syira’
  2. al-Murabahah lil Wa’id bi Asy-Syira’
  3. Bai’ al-Muwa’adah
  4. al-Murabahah al-Mashrafiyah
  5. al-Muwaa’adah ‘Ala al-Murabahah.
Sedangkan di negara Indonesia dikenal dengan jual beli Murabahah atau Murabahah Kepada Pemesanan Pembelian (KPP)
A. DEFINISI BA’I MURABAHAH
Kata al-Murabahah diambil dari bahasa Arab dari kata ar-ribhu (الرِبْحُ) yang berarti kelebihan dan tambahan (keuntungan)  Sedangkan dalam definisi para ulama terdahulu adalah jual beli dengan modal ditambah keuntungan yang diketahui.   Hakekatnya adalah menjual barang dengan harga (modal) nya yang diketahui kedua belah transaktor (penjual dan pembeli) dengan keuntungan yang diketahui keduanya. Sehingga penjual menyatakan modalnya adalah seratus ribu rupiah dan saya jual kepada kamu dengan keuntungan sepuluh ribu rupiah.
Syeikh Bakr Abu Zaid menyatakan: (Inilah pengertian yang ada dalam pernyataan mereka: Saya menjual barang ini dengan sistem murabahah… rukun akad ini adalah pengetahuan kedua belah pihak tentang nilai modal pembelian dan nilai keuntungannya, dimana hal itu diketahui kedua belah pihak maka jual belinya shohih dan bila tidak diketahui maka batil. Bentuk jual beli Murabahah seperti ini adalah boleh tanpa ada khilaf diantara ulama, sebagaimana disampaikan ibnu Qudaamah, bahkan Ibnu Hubairoh  menyampaikan ijma’ dalam hal itu demikian juga al-Kaasaani).
Inilah jual beli Murabahah yang ada dalam kitab-kitab ulama fikih terdahulu. Namun jual beli Murabahah yang sedang marak di masa ini tidaklah demikian bentuknya. Jual beli Murabahah sekarang berlaku di lembaga-lembaga keuangan syari’at lebih komplek daripada yang berlaku dimasa lalu. Oleh karena itu para ulama kontemporer dan para peneliti ekonomi islam memberikan definisi berbeda sehingga apakah hukumnya sama ataukah berbeda?
Diantara definisi yang disampaikan mereka adalah:
  1. Bank melaksanakan realisai permintaan orang yang bertransaksi dengannya dengan dasar pihak pertama (Bank) membeli yang diminta pihak kedua (nasabah) dengan dana yang dibayarkan bank -secara penuh atau sebagian- dan itu dibarengi dengan keterikatan pemohon untuk membeli yang ia pesan tersebut dengan keuntungan yang disepakati didepan (diawal transaksi).
  2. Lembaga keuangan bersepakat dengan nasabah agar lembaga keuangan melakukan pembelian barang baik yang bergerak (dapat dipindah) atau tidak. Kemudian nasabah terikat untuk membelinya dari lembaga keuangan tersebut setelah itu dan lembaga keuangan itupun terikat untuk menjualnya kepadanya. Hal itu dengan harga didepan atau dibelakang dan ditentukan nisbat tambahan (profit) padanya atas harga pembeliaun dimuka.
  3. Orang yang ingin membeli barang mengajukan permohonan kepada lembaga keuangan, karena ia tidak memiliki dana yang cukup untuk membayar kontan nilai barang tersebut dan karena penjual (pemilik barang) tidak menjualnya secara tempo. Kemudian lembaga keuangan membelinya dengan kontan dan menjualnya kepada nasabah (pemohon) dengan tempo yang lebih tinggi.
  4. Ia adalah yang terdiri dari tiga pihak; penjual, pembeli dan bank dengan tinjauan sebagai pedagang perantara antara penjual pertama (pemilik barang) dan pembeli. Bank tidak membeli barang tersebut disini kecuali setelah pembeli menentukan keinginannya dan adanya janji memberi dimuka.
Definis-definisi diatas cukup jelas memberikan gambaran jual beli murabahah ini.
Murabahah adalah transaksi penjualan barang dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual dan pembeli.Pembayaran atas akad jual beli dapat dilakukan secara tunai maupun kredit. Hal yang membedakan murabahah dengan jual beli lainnya adalah penjual harus memberitahukan kepada pembeli harga barang pokok yang dijualnya serta jumlah keuntungan yang diperoleh.
B. SISTEM GAMBARAN MURABAHAH
Dari definisi diatas dan praktek yang ada di lingkungan lembaga keuangan syariat didunia dapat disimpulkan ada tiga bentuk:
1.    Pelaksanaan janji yang mengikat dengan kesepakatan antara dua pihak sebelum lembaga keuangan menerima barang dan menjadi miliknya dengan menyebutkan nilai keuntungannya dimuka . Hal itu dengan datangnya nasabah kepada lembaga keuangan memohon darinya untuk membeli barang tertentu dengan sifat tertentu. Keduanya bersepakat dengan ketentuan lembaga keuangan terikat untuk membelikan barang dan nasabah terikat untuk membelinya dari lembaga keuangan tersebut. Lembaga keuangan terikat harus menjualnya kepada nasabah dengan nilai harga yang telah disepakati keduanya baik nilai ukuran, tempo dan keuntungannya.
2.    Pelaksanaan janji (al-Muwaa’adah) tidak mengikat pada kedua belah pihak. Hal itu dengan ketentuan nasabah yang ingin membeli barang tertentu, lalu pergi ke lembaga keuangan dan terjadi antara keduanya perjanjian dari nasabah untuk membeli dan dari lembaga keuangan untuk membelinya. Janji ini tidak dianggap kesepakatan sebagaimana juga janji tersebut tidak mengikat pada kedua belah pihak. Bentuk gambaran ini bisa dibagi dalam dua keadaan:
a.    Pelaksanaan janji tidak mengikat tanpa ada penentuan nilai keuntungan dimuka.
b.    Pelaksanaan janji tidak mengikat dengan adanya penentuan nilai keuntungan yang akan diberikannya.
3.    Pelaksanaan janji mengikat lembaga keuangan tanpa nasabah. Inilah yang diamalkan di bank Faishol al-Islami di Sudan. Hal itu dengan ketentuan akad transaksi mengikat bank dan tidak mengikat nasabah sehingga nasabah memiliki hak Khiyar (memilih) apabila melihat barangnya untuk menyempurnakan transaksi atau menggagalkannya.
C. HUKUM BA’I MURABAHAH
Dalam islam,perdagangan dan perniagaan selalu dihubungkan dengan nilai-nilai moral,sehingga semua transaksi bisnis yang bertentangan dengan kebajikan tidaklah bersifat islami.           
·         Al-Qur'an
"Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan (mengambil) harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka rela diantaramu. . . . ." (QS.4:29)

 "Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba" (QS.2:275)
D. JENIS MURABAHAH
1.        Murabahah Berdasarkan Pesanan/Murabahah Kepada Pemesan Pembelian (KPP)
Murabahah ini dapat bersifat mengikat atau tidak mengikat. Mengikat  bahwa apabila telah memesan barang harus dibeli sedangkan tidak mengikat bahwa walaupun telah memesan barang tetapi pembeli tersebut tidak terikat maka pembeli dapat menerima atau membatalkan barang tersebut.

2.        Murabahah Tanpa Pesanan
Murabahah ini termasuk jenis murabahah yang bersifat tidak mengikat. Murabahah ini dilakukan tidak melihat ada yang pesan atau tidak sehingga penyediaan barang dilakukan sendiri oleh penjual.
E. RUKUN DAN SYARAT MURABAHAH
Rukun Murabahah
            Rukun adalah suatu elemen yang tidak dapat dipisahkan dari suatu kegiatan atau lembaga, sehingga bila tidak ada salah satu elemen tersebut maka kegiatan tersebut dinyatakan tidak sah atau lembaga tersebut tidak eksis.
            Menurut Jumhur Ulama ada 4 rukun dalam murabahah, yaitu Orang yang menjual (Ba'I'), orang yang membeli (Musytari), Sighat dan barang atau sesuatu yang diakadkan.

Syarat Murabahah
1.      Penjual memberi tahu biaya modal kepada nasabah
2.      Kontrak pertama harus sah sesuai dengan rukun yang ditetapkan
3.      Kontrak harus bebas dari riba
4.      Penjual harus menjelaskan kepada pembeli bila terjadi cacat atas barang sesudah pembelian
5.      Penjual harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara utang
Harga dan keuntungan harus disebutkan begitu pula system pembayarannya, semuanya ini dinyatakan didepan sebelum akad resmi (ijab qabul) dinyatakan tertulis. Apabila syarat ini tidak dipenuhi, maka murabahah tidak boleh digunakan dan cacat menurut syariat.
·         Al-Hadist
Dari Abu Sa'id Al-Khudri , bahwa Rasullulah Saw bersabda: "Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan suka sama suka".(HR.al-Baihaqi,Ibnu Majah dan Shahi menurut Ibnu Hibban)
F.   KETENTUAN-KETENTUAN MURABAHAH
1.      Jual beli murabahah harus dilakukan atas barang yang telah dimiliki atau hak kepemilikan telah berada ditangan penjual.
2.      Adanya kejelasan informasi mengenai besarnya modal (harga pembeli) dan biaya-biaya lain yang lazim dikeluarkan dalam jual beli.
3.      Ada informasi yang jelas tentang hubungan baik nominal maupun presentase sehingga diketahui oleh pembeli sebagai salah satu syarat sah murabahah.
4.      Dalam system murabahah, penjual boleh menetapkan syarat kepada pembeli untuk menjamin kerusakan yang tidak tampak pada barang, tetapi lebih baik syarat seperti itu tidak ditetapkan.
5.      Transaksi pertama (anatara penjual dan pembeli pertama) haruslah sah, jika tidak sah maka tidak boleh jual beli secara murabahah (anatara pembeli pertama yang menjadi penjual kedua dengan pembeli murabahah.
6.      Harus selalu diingat bahwa pada mula murabahah bukan merupakan bentuk pembiayaan, melainkan hanya alat untuk menghndar dari “bunga”.
7.      Murabahah muncul bukan hanya untuk menggantikan “bungan” dengan “keuntungan”, melainkan sebagai bentuk pembiayaan yang diperoleh oleh ulama syariah dengan syarat-syarat tertentu.
KETENTUAN UMUM MURABAHAH
a.    Jaminan
Pada dasarnya, jaminan bukanlah satu rukun atau syarat yang mutlak dipenuhi dalam bai’ al-murabahah. Jaminan dimaksudkan untuk menjaga agar si pemesan tidak main-main dengan pesanan. Si pembeli (penyedia barang/ bank) dapat meminta si pemesan (pemohon/ nasabah) suatu jaminan (rahn) untuk dipegangnya. Dalam teknis operasionalnya, barang-barang yang dipesan dapat menjadi salah satu jaminan yang bisa diterima untuk pembayaran hutang.
b.    Penundaan Pembayaran oleh Debitur Mampu
Seorang nasabah yang mempunyai kemampuan ekonomis dilarang menunda penyelesaian utangnya dalam al-murabahah ini. Bila seseorang pemesan menunda penyelesaian utang tersebut, pembeli dapat mengambil tindakan: mengambil prosedur hukum untuk mendapatkan kembali utang itu dan mengklaim kerugian finansial yang terjadi akibat penundaan.
c.    Bangkrut
Jika pemesanan yang berutang dianggap pailit dan gagak menyelesaikan utangnya karena benar-benar tidak mampu secara ekonomi dan bukan karena lalai sedangkan ia mampu, kreditor harus menunda tagihan utang sampai ia menjadi sanggup kembali.



BAB III
PENUTUP
A.  KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa ba’i murabahah adalah salah satu produk dari lembaga keuangan dimana pengetiannya adalah transaksi penjualan barang dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual dan pembeli.Pembayaran atas akad jual beli dapat dilakukan secara tunai maupun kredit dan hukum dari murabahah sendiri adalah mubah sesuai ayat alquran
"Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba" (QS.2:275)
B. SARAN
Dengan tidak ada maksud untuk menggurui atau mendoktrin sebuah pendapat, penulis menyarankan agar setiap transaksi muamalat harus berlandaskan syariat dan tidak pula melanggar norma dan hukum yang sudah ditetapkan oleh sistem masyarakat tersebut.





















DAFTAR PUSTAKA
Suhendi, Hendi, 2010, Fiqih Muamalah, Jakarta, Rajawali pers
Ath-thayyar,  Abdullah bin Muhamad. Al-muthlaq, Abdullah bin Muhamad. Muhamad Bin Ibrahim 2004, Ensiklopedi fiqih muamalah, yogyakarta, maktabah al-hanif
Ascarya, 2007, Akad & Produk Bank Syariah, Jakarta, Rajagrafindo Indonesia
Antonio,muhamad, syafi’i, 2001, Bank syariah dari teori ke praktik, Jakarta, gema insani











ISTIHSAN

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
            Agama islam sebagai agama yang diridahi oleh Tuhan adalah agama yang mempunyai syariat dan hukum yang berbeda dengan agama yang lainnya. Sumber Hukum agama islam yang disepakati adalah Al-quran dan hadist ditambah dengan ijma dan qiyas.
Namun selain sumber hukum yang telah disepakati diatas ada pula sumber-sumber hukum lainnya yang masih dalam perdebatan dikalangan fuqahah diantaranya adalah istihsan.
Istihsan adalah salah satu dari dalil-dalil syar’i yang masih dalm perdebatan apakah bisa untuk hujah atau tidak, karena kita belajar fiqih maka disana pasti terdapat perebedaan ada yang menolak tapi ada pula yng menerimanya
Dari latar belakang diataslah maka penulis memilih untuk membahas tema yaitu Istihsan untuk mengetahui apa itu istihsan, dasar hukumnya dan siapa saj yang menolak dan menerimanya.

B. Rumusan Masalah
            Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
Ø  Apa itu Definisi istihsan
Ø  Macam-macam istihsan
Ø  Kehujahan istihsan
Ø  Beberapa contoh istihsan
C. Pembatasan Masalah
            Dari rumusan masalah diatas dapat kita batasi untuk membahas makalah ini adalah:
Ø  Apa itu Definisi istihsan
Ø  Macam-macam istihsan
Ø  Kehujahan istihsan
Ø  Beberapa contoh istihsan
D. Tujuan Makalah
            Tujuan dibuatnya makalah ini secara umum adalah:
Ø  Untuk memberikan pemahaman yang lebih mendalam tehadap apa itu istihsan
Ø  Untuk mengetahui kehujahan dari istihsan seta ulama mansajakah yang menerima dan menolak istihsan
Adapun tujuan khusus dibuatnya makalah ini adalah:
Ø  Memenuhi tugas ushul fiqih
Ø  Menambah wawasan dan pengetahuan bagi penulis sendiri
Ø  Mendapatkan ilmu lebih dalam pembuatan makalah ini seperti ilmu komputer dan internet.

E. Manfat Makalah
Manfaat yang diperoleh dari penulis ini secara umum adalah sebagai berikut Sebagai sarana wadah informasi terhadap istihsan pada umumnya dan mahasiswa dan mahasiswi jurusan asuransi syariah pada khususnya.
Manfaat yang didapat dari peneltian ini secara khusus adalah sebagai berikut
1.      Mendapatkan nilai tambahan dalam mata kuliah ushul fiqih
2.      Menambah pengetahuan dan wawasan penulis sendiri
3.      Menambah dan melatih kerjasama antar anggota kelomok

F. Metode
            Metode yang digunakan penulis dalam pembuatan makalah metode pustaka dan internet serta pengetahuan penulis sendiri.


















BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Istihsan

Istihsan (Arab: استحسان) adalah kecenderungan seseorang pada sesuatu karena menganggapnya lebih baik, dan ini bisa bersifat lahiriah (hissiy) ataupun maknawiah; meskipun hal itu dianggap tidak baik oleh orang lain. Secara Etimologi Istihsan berarti, “ “Menyatakan dan meyakini baik sesuatu”.
Menurut epistimologi para ulama ushul, istihsan adalah pindahnya seorang mujtahid dari tuntutan kias jali (nyata) kepada kias khafi (samar), atau dari dalil kully kepada hukum takhshish lantaran terdapat dalil yang menyebabkan mujtahid mengalihkan hasil pikirannya dan mementingkan perpindahan hukum.
Oleh sebab itu, jika ada suatu kejadian yang tak ada nash hukumnya, maka dalam pembahasannya ada dua segi yang saling berlawanan, yaitu :
Ø  Segi zhahir yang menghendaki adanya suatu hukum.
Ø  Segi khafi (tak tampak) yang menghendaki adanya hukum lain.
Dalam hal ini, pada diri mujtahid ada dalil yang lebih mendahulukan pandangan khafi. Namun, ia pindah kepada pandangan yang zhahir (nyata), menurut syara’ hal ini disebut Al-Istihsan.
Istihsan memiliki banyak definisi di kalangan ulama Ushul fiqih. Diantaranya adalah:
  1. Mengeluarkan hukum suatu masalah dari hukum masalah-masalah yang serupa dengannya kepada hukum lain karena didasarkan hal lain yang lebih kuat dalam pandangan mujtahid.
  2. Dalil yang terbetik dalam diri seorang mujtahid, namun tidak dapat diungkapkannya dengan kata-kata.
  3. Meninggalkan apa yang menjadi konsekwensi qiyas tertentu menuju qiyas yang lebih kuat darinya.
  4. Mengamalkan dalil yang paling kuat di antara dua dalil.

B. Jenis-jenis Istihsan

Para ulama yang mendukung penggunaan Istihsan sebagai salah satu sumber penetapan hukum membagi Istihsan dalam beberapa bagian berdasarkan 2 sudut pandang yang berbeda
  1. Istihsan dengan nash. Maknanya adalah meninggalkan hukum berdasarkan qiyas dalam suatu masalah menuju hukum lain yang berbeda yang ditetapkan oleh Al-Qur’an atau Sunnah.
  2. Istihsan dengan ijma’. Maknanya adalah terjadinya sebuah ijma’—baik yang sharih maupun sukuti—terhadap sebuah hukum yang menyelisihi qiyas atau kaidah umum.
  3. Istihsan dengan kedaruratan. Yaitu ketika seorang mujtahid melihat ada suatu kedaruratan atau kemaslahatan yang menyebabkan ia meninggalkan qiyas, demi memenuhi hajat yang darurat itu atau mencegah kemudharatan.
  4. Istihsan dengan ‘urf atau konvensi yang umum berlaku. Artinya meninggalkan apa yang menjadi konsekuensi qiyas menuju hukum lain yang berbeda karena ‘urf yang umum berlaku—baik ‘urf yang bersifat perkataan maupun perbuatan—.

Berdasarkan kuat-tidaknya pengaruhnya

  1. Qiyas memiliki kekuatan yang lemah dan Istihsan yang kuat darinya.
  2. Qiyas lebih kuat pengaruhnya dan Istihsan yang lemah pengaruhnya.
  3. Qiyas dan Istihsan sama-sama memiliki kekuatan.
  4. Qiyas dan Istihsan sama-sama memiliki pengaruh yang lemah.
C. Ulama yang menolak dan yang menerima istihsan sebagai sumber hukum
Ulama sepakat tentang pengertian istihsan, karena lapaz istihsan banyak terdapat dalam Al-Quran dan Hadits Az-Zumar : (39) ayat 18. Orang yang mendengarkan perkataan,lalu mengikuti apa yang paling di antaranya.
Al-Bazdawii (Hanafi) Istihsan “Berpaling dari kehendak qiyas kepada Qiyas yang lebih kuat atau pengkhususan qiyas Berdasarkan dalil yang lebih kuat” Istihsan merupakan hujjah dalam syari’ah. As-Sarakhsy (Hanafi) Istihsan ialah meninggalkan qiyas dan mengamalkan  Yang lebih kuat, karena adanya dalil yang menghendaki  Serta lebih sesuai dengan kemaslahatan ummat.
Al-Ghazali (Syaf’iy) Istihsan ialah Semua hal yang dianggap baik  oleh mujtahid menurut akalnya” Secara umum tidak mengakui istihsan, bahkan Imam Syafii menolak dengan keras”. Ibnu Qudamahi (Hanbali) Istihsan ialah suatu keadilan terhadap hukum Karena adanya dalil tertentu dari Al-Quran dan Sunnah. Asy-Syatibi  (Maliki) Istihsan ialah pengambian suatu kemaslahatan  Yang bersifat juz’iy dalam menanggapi dalil Yang bersifat global” Menurut Asy-Syatibi Ulama dari Malikiyah Istihsan adalah dalil yang  kuat sebagai metode Istimbath hokum. Al-Karkhi (Hanafi) Perbuatan adil terhadap  suatu permasalahan hukum dengan memandang hukum yang lain, karena adanya sesuatu yang lebih kuat yang membutuhkan keadilan.
D. Kedudukan ( Kehujjahan ) Istihsan
            Istihsan pada dasarnya bukan sebagai sumber pembentukan hukum yang berdiri sendiri. Yang menggunakan hujjah istihsan, kebanyakan adalah ulama’ Hanafiyah. Alasan mereka bahwa istidlal dengan jalan istihsan hanya merupakan istidlal dengan kias khafi yang dimenangkan atau diutamakan dari kias jali, atau merupakan kemenangan, atau merupakan istidlal dengan jalan maslahah mursalah terhadap pengecualan hukum kully. Semua ini merupakan istidlal yang benar.
E.  Klasifikasi Istihsan
Berdasarkan pengertian akan Istihsan maka dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu :
a.       Mengutamakan (memenangkan) kias khafi daripada kias jali berdasarkan dalil.
Contohnya sebagai berikut :
-          Nash Fuqaha Hanafiyah
Apabila terjadi transaksi jual beli antara pihak penjual dan pembeli dengan harga tertentu sedang barang belum diserahterimakan, lalu pihak penjual mengaku harga barang tersebut, misalnya seharga Rp 1500,- dan pihak pembeli mengaku seharga Rp 1000,- maka penjual dan pembeli harus mengangkat sumpah berdasarkan istihsan. Tetapi menurut kias, pihak penjual tidak diperlukan mengangkat sumpah lantaran ia menambah harga Rp 500,- dan pihak pembeli tidak mengakuinya.  Dalam hal ini, saksi harus ada pada pendakwa, dan sumpah wajib bagi orang yang mengingkari. Dengan demikian, tidak ada sumpah bagi pihak penjual.
Sedangkan jika dengan jalan Istihsan, pihak penjual adalah pendakwa, bila kenyataan itu dikaitkan dengan tambahan harga. Dan pihak pembeli adalah pihak yang mengingkari karena ia hanya membayar Rp 1000,- ketika menerima barang yang dibeli. Jelas, pihak pembeli adalah pihak yang mengingkari adanya tambahan harga Rp 500,- sebagaimana didakwakan penjual. Namun, pada  dasarnya pembeli juga sebagai pendakwa hak penjualan barang yang diserahkan dari penjual seharga Rp 1000,-. Dengan demikian, antara pembeli dan penjual itu masing-masing berkedudukan sebagai pendakwa ditinjau dari 1 segi, dan ditinjau dari segi lainnya masing-masing adalah yang mengingkari. Oleh karena itu, keduanya harus diangkat sumpahnya.
Jadi, kias jali itu menyesuaikan suatu peristiwa dengan peristiwa lain antara pendakwa dengan pengingkar, maka saksi yang nyata bagi pendakwa wajib ada, dan wajib sumpah bagi orang yang mengingkari.
Sedangkan dengan jalan kias khafi yaitu menyesuaikan kejadian itu dnegan setiap kejadian antara dua pihak yang saling menuduh. Suatu saat bisa dikatakan sebagai pendakwa, dan di pihak lain dianggap sebagai orang yang mengingkari, keduanya harus mengangkat sumpah.
b.      Mengecualikan juz’iyah daripada hukum kully berdasarkan dalil.
Contohnya sebagai berikut :
Syari’ telah melarang mengadakan penjualan atau perjanjian (akad) terhadap barang yang tidak terdapat di tempat akad. Namun, melalui istihsan perbuatan itu diperbolehkan melalui jalan pesanan, akad atau perjanjian sewa, atau pengelolaan tanah ladang untuk ditanami  dengan sistem bagi hasil, perjanjian pengairan dan perjanjian permohonan kerja. Jalan istihsan ini menyangkut kebutuhan manusia yang saling kenal diantara mereka.
            Para Fuqaha telah menetapkan bahwa orang yang dipercaya, jika kematiannya tidak diketahui akan membuat penderitaan lantaran tidak diketahuinya itu. Dan hal itu bisa berlaku bagi siapapun. Namun, terdapat pengecualian menurut istihsan terhadap kematian ayah, nenek atau orang yang membuat wasiat secara rahasia, dengan jalan istihsan, ayah, nenek dan pewasiat itu hendaknya menyediakan perbelanjaan untuk anak kecil dan memenuhi segala kebutuhannya. Sebab, kemungkinan apa-apa yang tidak diketahui sudah dipenuhi melalui jalan tersebut.
            Fuqaha juga menetapkan bahwa orang yang dipercaya tidak akan menderita kecuali jika dilakukan secara sembarangan dan melampaui batas. Menurut istihsan hal ini dikecualikan bagi orang yang menyewa secara bersama-sama, sebab ia tidak akan menanggung beban resiko. Kecuali kalau kerusakan yang terjadi itu sangat luar biasa, jalan istihsan, bersikap percaya kepada pihak penyewa.
            Fuqaha juga menetapkan bahwa orang yang tidak membelanjakan hartanya lantaran bodoh, tidak sah amal baiknya. Menurut istihsan dikecualikan wakaf atas dirinya ketika masih hidup. Jalan istihsan di sini ialah wakaf atas dirinya itu berarti mempercayakan tanahnya agar tidak disia-siakan. Hal ini telah disepakati, dan yang demikian itulah maksud membelanjakan sesuatu.
            Dalam contoh-contoh itu, bagian hukum kully dikecualikan oleh dalil juzzi, dan itulah yang disebut sebagai Istihsan.






BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa istihsan adalah berpindahnya seorang mujtahida dari qiyas jally kepada qiyas khafi.
B. SARAN
   Saran penulis dengan tidak ada maksud menggurui adalah alangkah baiknya jika setiap muslimin untuk saling menghormati perbedaan pendapat dikalangan fuqahah

























DAFTAR PUSTAKA