Kamis, 20 Maret 2014

ISTIHSAN

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
            Agama islam sebagai agama yang diridahi oleh Tuhan adalah agama yang mempunyai syariat dan hukum yang berbeda dengan agama yang lainnya. Sumber Hukum agama islam yang disepakati adalah Al-quran dan hadist ditambah dengan ijma dan qiyas.
Namun selain sumber hukum yang telah disepakati diatas ada pula sumber-sumber hukum lainnya yang masih dalam perdebatan dikalangan fuqahah diantaranya adalah istihsan.
Istihsan adalah salah satu dari dalil-dalil syar’i yang masih dalm perdebatan apakah bisa untuk hujah atau tidak, karena kita belajar fiqih maka disana pasti terdapat perebedaan ada yang menolak tapi ada pula yng menerimanya
Dari latar belakang diataslah maka penulis memilih untuk membahas tema yaitu Istihsan untuk mengetahui apa itu istihsan, dasar hukumnya dan siapa saj yang menolak dan menerimanya.

B. Rumusan Masalah
            Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
Ø  Apa itu Definisi istihsan
Ø  Macam-macam istihsan
Ø  Kehujahan istihsan
Ø  Beberapa contoh istihsan
C. Pembatasan Masalah
            Dari rumusan masalah diatas dapat kita batasi untuk membahas makalah ini adalah:
Ø  Apa itu Definisi istihsan
Ø  Macam-macam istihsan
Ø  Kehujahan istihsan
Ø  Beberapa contoh istihsan
D. Tujuan Makalah
            Tujuan dibuatnya makalah ini secara umum adalah:
Ø  Untuk memberikan pemahaman yang lebih mendalam tehadap apa itu istihsan
Ø  Untuk mengetahui kehujahan dari istihsan seta ulama mansajakah yang menerima dan menolak istihsan
Adapun tujuan khusus dibuatnya makalah ini adalah:
Ø  Memenuhi tugas ushul fiqih
Ø  Menambah wawasan dan pengetahuan bagi penulis sendiri
Ø  Mendapatkan ilmu lebih dalam pembuatan makalah ini seperti ilmu komputer dan internet.

E. Manfat Makalah
Manfaat yang diperoleh dari penulis ini secara umum adalah sebagai berikut Sebagai sarana wadah informasi terhadap istihsan pada umumnya dan mahasiswa dan mahasiswi jurusan asuransi syariah pada khususnya.
Manfaat yang didapat dari peneltian ini secara khusus adalah sebagai berikut
1.      Mendapatkan nilai tambahan dalam mata kuliah ushul fiqih
2.      Menambah pengetahuan dan wawasan penulis sendiri
3.      Menambah dan melatih kerjasama antar anggota kelomok

F. Metode
            Metode yang digunakan penulis dalam pembuatan makalah metode pustaka dan internet serta pengetahuan penulis sendiri.


















BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Istihsan

Istihsan (Arab: استحسان) adalah kecenderungan seseorang pada sesuatu karena menganggapnya lebih baik, dan ini bisa bersifat lahiriah (hissiy) ataupun maknawiah; meskipun hal itu dianggap tidak baik oleh orang lain. Secara Etimologi Istihsan berarti, “ “Menyatakan dan meyakini baik sesuatu”.
Menurut epistimologi para ulama ushul, istihsan adalah pindahnya seorang mujtahid dari tuntutan kias jali (nyata) kepada kias khafi (samar), atau dari dalil kully kepada hukum takhshish lantaran terdapat dalil yang menyebabkan mujtahid mengalihkan hasil pikirannya dan mementingkan perpindahan hukum.
Oleh sebab itu, jika ada suatu kejadian yang tak ada nash hukumnya, maka dalam pembahasannya ada dua segi yang saling berlawanan, yaitu :
Ø  Segi zhahir yang menghendaki adanya suatu hukum.
Ø  Segi khafi (tak tampak) yang menghendaki adanya hukum lain.
Dalam hal ini, pada diri mujtahid ada dalil yang lebih mendahulukan pandangan khafi. Namun, ia pindah kepada pandangan yang zhahir (nyata), menurut syara’ hal ini disebut Al-Istihsan.
Istihsan memiliki banyak definisi di kalangan ulama Ushul fiqih. Diantaranya adalah:
  1. Mengeluarkan hukum suatu masalah dari hukum masalah-masalah yang serupa dengannya kepada hukum lain karena didasarkan hal lain yang lebih kuat dalam pandangan mujtahid.
  2. Dalil yang terbetik dalam diri seorang mujtahid, namun tidak dapat diungkapkannya dengan kata-kata.
  3. Meninggalkan apa yang menjadi konsekwensi qiyas tertentu menuju qiyas yang lebih kuat darinya.
  4. Mengamalkan dalil yang paling kuat di antara dua dalil.

B. Jenis-jenis Istihsan

Para ulama yang mendukung penggunaan Istihsan sebagai salah satu sumber penetapan hukum membagi Istihsan dalam beberapa bagian berdasarkan 2 sudut pandang yang berbeda
  1. Istihsan dengan nash. Maknanya adalah meninggalkan hukum berdasarkan qiyas dalam suatu masalah menuju hukum lain yang berbeda yang ditetapkan oleh Al-Qur’an atau Sunnah.
  2. Istihsan dengan ijma’. Maknanya adalah terjadinya sebuah ijma’—baik yang sharih maupun sukuti—terhadap sebuah hukum yang menyelisihi qiyas atau kaidah umum.
  3. Istihsan dengan kedaruratan. Yaitu ketika seorang mujtahid melihat ada suatu kedaruratan atau kemaslahatan yang menyebabkan ia meninggalkan qiyas, demi memenuhi hajat yang darurat itu atau mencegah kemudharatan.
  4. Istihsan dengan ‘urf atau konvensi yang umum berlaku. Artinya meninggalkan apa yang menjadi konsekuensi qiyas menuju hukum lain yang berbeda karena ‘urf yang umum berlaku—baik ‘urf yang bersifat perkataan maupun perbuatan—.

Berdasarkan kuat-tidaknya pengaruhnya

  1. Qiyas memiliki kekuatan yang lemah dan Istihsan yang kuat darinya.
  2. Qiyas lebih kuat pengaruhnya dan Istihsan yang lemah pengaruhnya.
  3. Qiyas dan Istihsan sama-sama memiliki kekuatan.
  4. Qiyas dan Istihsan sama-sama memiliki pengaruh yang lemah.
C. Ulama yang menolak dan yang menerima istihsan sebagai sumber hukum
Ulama sepakat tentang pengertian istihsan, karena lapaz istihsan banyak terdapat dalam Al-Quran dan Hadits Az-Zumar : (39) ayat 18. Orang yang mendengarkan perkataan,lalu mengikuti apa yang paling di antaranya.
Al-Bazdawii (Hanafi) Istihsan “Berpaling dari kehendak qiyas kepada Qiyas yang lebih kuat atau pengkhususan qiyas Berdasarkan dalil yang lebih kuat” Istihsan merupakan hujjah dalam syari’ah. As-Sarakhsy (Hanafi) Istihsan ialah meninggalkan qiyas dan mengamalkan  Yang lebih kuat, karena adanya dalil yang menghendaki  Serta lebih sesuai dengan kemaslahatan ummat.
Al-Ghazali (Syaf’iy) Istihsan ialah Semua hal yang dianggap baik  oleh mujtahid menurut akalnya” Secara umum tidak mengakui istihsan, bahkan Imam Syafii menolak dengan keras”. Ibnu Qudamahi (Hanbali) Istihsan ialah suatu keadilan terhadap hukum Karena adanya dalil tertentu dari Al-Quran dan Sunnah. Asy-Syatibi  (Maliki) Istihsan ialah pengambian suatu kemaslahatan  Yang bersifat juz’iy dalam menanggapi dalil Yang bersifat global” Menurut Asy-Syatibi Ulama dari Malikiyah Istihsan adalah dalil yang  kuat sebagai metode Istimbath hokum. Al-Karkhi (Hanafi) Perbuatan adil terhadap  suatu permasalahan hukum dengan memandang hukum yang lain, karena adanya sesuatu yang lebih kuat yang membutuhkan keadilan.
D. Kedudukan ( Kehujjahan ) Istihsan
            Istihsan pada dasarnya bukan sebagai sumber pembentukan hukum yang berdiri sendiri. Yang menggunakan hujjah istihsan, kebanyakan adalah ulama’ Hanafiyah. Alasan mereka bahwa istidlal dengan jalan istihsan hanya merupakan istidlal dengan kias khafi yang dimenangkan atau diutamakan dari kias jali, atau merupakan kemenangan, atau merupakan istidlal dengan jalan maslahah mursalah terhadap pengecualan hukum kully. Semua ini merupakan istidlal yang benar.
E.  Klasifikasi Istihsan
Berdasarkan pengertian akan Istihsan maka dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu :
a.       Mengutamakan (memenangkan) kias khafi daripada kias jali berdasarkan dalil.
Contohnya sebagai berikut :
-          Nash Fuqaha Hanafiyah
Apabila terjadi transaksi jual beli antara pihak penjual dan pembeli dengan harga tertentu sedang barang belum diserahterimakan, lalu pihak penjual mengaku harga barang tersebut, misalnya seharga Rp 1500,- dan pihak pembeli mengaku seharga Rp 1000,- maka penjual dan pembeli harus mengangkat sumpah berdasarkan istihsan. Tetapi menurut kias, pihak penjual tidak diperlukan mengangkat sumpah lantaran ia menambah harga Rp 500,- dan pihak pembeli tidak mengakuinya.  Dalam hal ini, saksi harus ada pada pendakwa, dan sumpah wajib bagi orang yang mengingkari. Dengan demikian, tidak ada sumpah bagi pihak penjual.
Sedangkan jika dengan jalan Istihsan, pihak penjual adalah pendakwa, bila kenyataan itu dikaitkan dengan tambahan harga. Dan pihak pembeli adalah pihak yang mengingkari karena ia hanya membayar Rp 1000,- ketika menerima barang yang dibeli. Jelas, pihak pembeli adalah pihak yang mengingkari adanya tambahan harga Rp 500,- sebagaimana didakwakan penjual. Namun, pada  dasarnya pembeli juga sebagai pendakwa hak penjualan barang yang diserahkan dari penjual seharga Rp 1000,-. Dengan demikian, antara pembeli dan penjual itu masing-masing berkedudukan sebagai pendakwa ditinjau dari 1 segi, dan ditinjau dari segi lainnya masing-masing adalah yang mengingkari. Oleh karena itu, keduanya harus diangkat sumpahnya.
Jadi, kias jali itu menyesuaikan suatu peristiwa dengan peristiwa lain antara pendakwa dengan pengingkar, maka saksi yang nyata bagi pendakwa wajib ada, dan wajib sumpah bagi orang yang mengingkari.
Sedangkan dengan jalan kias khafi yaitu menyesuaikan kejadian itu dnegan setiap kejadian antara dua pihak yang saling menuduh. Suatu saat bisa dikatakan sebagai pendakwa, dan di pihak lain dianggap sebagai orang yang mengingkari, keduanya harus mengangkat sumpah.
b.      Mengecualikan juz’iyah daripada hukum kully berdasarkan dalil.
Contohnya sebagai berikut :
Syari’ telah melarang mengadakan penjualan atau perjanjian (akad) terhadap barang yang tidak terdapat di tempat akad. Namun, melalui istihsan perbuatan itu diperbolehkan melalui jalan pesanan, akad atau perjanjian sewa, atau pengelolaan tanah ladang untuk ditanami  dengan sistem bagi hasil, perjanjian pengairan dan perjanjian permohonan kerja. Jalan istihsan ini menyangkut kebutuhan manusia yang saling kenal diantara mereka.
            Para Fuqaha telah menetapkan bahwa orang yang dipercaya, jika kematiannya tidak diketahui akan membuat penderitaan lantaran tidak diketahuinya itu. Dan hal itu bisa berlaku bagi siapapun. Namun, terdapat pengecualian menurut istihsan terhadap kematian ayah, nenek atau orang yang membuat wasiat secara rahasia, dengan jalan istihsan, ayah, nenek dan pewasiat itu hendaknya menyediakan perbelanjaan untuk anak kecil dan memenuhi segala kebutuhannya. Sebab, kemungkinan apa-apa yang tidak diketahui sudah dipenuhi melalui jalan tersebut.
            Fuqaha juga menetapkan bahwa orang yang dipercaya tidak akan menderita kecuali jika dilakukan secara sembarangan dan melampaui batas. Menurut istihsan hal ini dikecualikan bagi orang yang menyewa secara bersama-sama, sebab ia tidak akan menanggung beban resiko. Kecuali kalau kerusakan yang terjadi itu sangat luar biasa, jalan istihsan, bersikap percaya kepada pihak penyewa.
            Fuqaha juga menetapkan bahwa orang yang tidak membelanjakan hartanya lantaran bodoh, tidak sah amal baiknya. Menurut istihsan dikecualikan wakaf atas dirinya ketika masih hidup. Jalan istihsan di sini ialah wakaf atas dirinya itu berarti mempercayakan tanahnya agar tidak disia-siakan. Hal ini telah disepakati, dan yang demikian itulah maksud membelanjakan sesuatu.
            Dalam contoh-contoh itu, bagian hukum kully dikecualikan oleh dalil juzzi, dan itulah yang disebut sebagai Istihsan.






BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa istihsan adalah berpindahnya seorang mujtahida dari qiyas jally kepada qiyas khafi.
B. SARAN
   Saran penulis dengan tidak ada maksud menggurui adalah alangkah baiknya jika setiap muslimin untuk saling menghormati perbedaan pendapat dikalangan fuqahah

























DAFTAR PUSTAKA


Tidak ada komentar:

Posting Komentar