BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Dalam
ajaran islam kita dianjurkan berhubungan dengan sesama manusia (muamalah)/
hablumminanas selain berhubungan dengan Tuhan/ habluminallah, hubungan
dengan sesama manusia berifat horizontal artinya kita membutuhkan perantara
tapi hubungan dengan Tuhan bersifat vertikal artinya langsung (direct) tanpa perantara.
Membahas
hubungan sesama manusia kita diharuskan mempelajari etika-etika dan norma baik
yang terdapat dalam ajaran agama maupun dalam masyarakat tersebut, perilaku
muamalah tidak diperbolehkan melanggar aturan yang ditetapkan dalam agama dan
juga tidak diperkenankan melampaui tradisi masyarakat bersangkutan.
Diera
modern seperti ini muamalah sudah banyak macamnya dan bahkan Al-quran dan
hadist pun yang dijadikan sebagai rujukan dan sumber utama hukum dalam agama
islam mulai ada penafsiran dan penta’wilan suatu ayat atau hadist, contohnya
hal murababah.
Murabahah
adalah salah satu produk dari lembaga keuangan syariah, diantara banyaknya
produk lembaga keunggan syariah lainnya.
Dari
pembahasan diatas penulis tertarik untuk membahas salah satun produk keuangan syariah yaitu BA’I MURABAHAH
untuk mengetahuai apa itu produk murabahah itu, sistemnya, dan landasan
hukumnya.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa definisi murabahah
2.
Bagaimana sitem murabahah
3.
Apa dasar hukum murabahah
4.
Apa
saja rukun dan syarat murabahah
5.
Ketentuan
umum murabahah
C. Pembatasan Masalah
1. Apa definisi murabahah
2. Bagaimana sitem murabahah
3. Apa dasar hukum murabahah
4. Apa saja rukun dan syarat murabahah
5. Ketentuan umum murabahah
D. Tujuan
1.
Untuk mengkaji murabahah
2.
Untuk mengetahui dasar hukum, sistem dan syarat serta rukun
murabahah
3.
Memberikan pengetahuan baru bagi siwa dan siwi tentang
murabahah
4.
Utuk memenuhi tugas fiqih muamalah
E. Manfaat
1. Menyediakan informasi mengenai murabahah
2. Memberikan gambaran mengenai
sistem murabahah
3. Mengetahui secara jelas tentang rukun,
syrat dan dasar hukum murabahah
BAB II
BA’I MURABAHAH
Dewasa ini lembaga keuangan berlabel syari’at berkembang
dalam skala besar dengan menawarkan produk-produknya yang beraneka ragam dengan
istilah-istilah berbahasa Arab. Banyak masyarakat yang masih bingung
dengan istilah-istilah tersebut dan masih ragu apakah benar semua produk
tersebut adalah benar-benar jauh dari pelanggaran syari’at ataukah hanya
rekayasa semata.
Melihat banyaknya pertanyaan seputar ini maka dalam rubrik
fikih kali ini kami angkat salah satu produk tersebut untuk melihat
kehalalannya dalam tinjauan fikih islami.
Jual beli Murabahah (Bai’ al-Murabahah) demikianlah istilah
yang banyak diusung lembaga keuangan tersebut sebagai bentuk dari Financing
(pembiayaan) yang memiliki prospek keuntungan yang cukup menjanjikan. Sehingga
semua atau hampir semua lembaga keuangan syari’at menjadikannya sebagai produk
financing dalam pengembangan modal mereka
Jual beli Murabahah yang dilakukan lembaga keuangan syari’at
ini dikenal dengan nama-nama sebagai berikut:
- al-Murabahah
lil Aamir bi Asy-Syira’
- al-Murabahah
lil Wa’id bi Asy-Syira’
- Bai’
al-Muwa’adah
- al-Murabahah
al-Mashrafiyah
- al-Muwaa’adah
‘Ala al-Murabahah.
Sedangkan di negara Indonesia dikenal dengan jual beli
Murabahah atau Murabahah Kepada Pemesanan Pembelian (KPP)
A. DEFINISI BA’I
MURABAHAH
Kata al-Murabahah
diambil dari bahasa Arab dari kata ar-ribhu (الرِبْحُ) yang berarti
kelebihan dan tambahan (keuntungan)
Sedangkan dalam definisi para ulama terdahulu adalah jual beli dengan
modal ditambah keuntungan yang diketahui. Hakekatnya adalah menjual barang dengan harga (modal) nya
yang diketahui kedua belah transaktor (penjual dan pembeli) dengan keuntungan
yang diketahui keduanya. Sehingga penjual menyatakan modalnya adalah seratus
ribu rupiah dan saya jual kepada kamu dengan keuntungan sepuluh ribu rupiah.
Syeikh Bakr Abu Zaid menyatakan: (Inilah pengertian yang ada
dalam pernyataan mereka: Saya menjual barang ini dengan sistem murabahah… rukun
akad ini adalah pengetahuan kedua belah pihak tentang nilai modal pembelian dan
nilai keuntungannya, dimana hal itu diketahui kedua belah pihak maka jual
belinya shohih dan bila tidak diketahui maka batil. Bentuk jual beli Murabahah
seperti ini adalah boleh tanpa ada khilaf diantara ulama, sebagaimana
disampaikan ibnu Qudaamah, bahkan Ibnu Hubairoh
menyampaikan ijma’ dalam hal itu demikian juga al-Kaasaani).
Inilah jual beli Murabahah yang ada dalam kitab-kitab ulama
fikih terdahulu. Namun jual beli Murabahah yang sedang marak di masa ini
tidaklah demikian bentuknya. Jual beli Murabahah sekarang berlaku di
lembaga-lembaga keuangan syari’at lebih komplek daripada yang berlaku dimasa lalu.
Oleh karena itu para ulama kontemporer dan para peneliti ekonomi islam
memberikan definisi berbeda sehingga apakah hukumnya sama ataukah berbeda?
Diantara
definisi yang disampaikan mereka adalah:
- Bank
melaksanakan realisai permintaan orang yang bertransaksi dengannya dengan
dasar pihak pertama (Bank) membeli yang diminta pihak kedua (nasabah) dengan
dana yang dibayarkan bank -secara penuh atau sebagian- dan itu dibarengi dengan
keterikatan pemohon untuk membeli yang ia pesan tersebut dengan keuntungan
yang disepakati didepan (diawal transaksi).
- Lembaga
keuangan bersepakat dengan nasabah agar lembaga keuangan melakukan
pembelian barang baik yang bergerak (dapat dipindah) atau tidak. Kemudian
nasabah terikat untuk membelinya dari lembaga keuangan tersebut setelah
itu dan lembaga keuangan itupun terikat untuk menjualnya kepadanya. Hal
itu dengan harga didepan atau dibelakang dan ditentukan nisbat tambahan
(profit) padanya atas harga pembeliaun dimuka.
- Orang
yang ingin membeli barang mengajukan permohonan kepada lembaga keuangan,
karena ia tidak memiliki dana yang cukup untuk membayar kontan nilai
barang tersebut dan karena penjual (pemilik barang) tidak menjualnya
secara tempo. Kemudian lembaga keuangan membelinya dengan kontan dan
menjualnya kepada nasabah (pemohon) dengan tempo yang lebih tinggi.
- Ia
adalah yang terdiri dari tiga pihak; penjual, pembeli dan bank dengan
tinjauan sebagai pedagang perantara antara penjual pertama (pemilik
barang) dan pembeli. Bank tidak membeli barang tersebut disini kecuali
setelah pembeli menentukan keinginannya dan adanya janji memberi dimuka.
Definis-definisi
diatas cukup jelas memberikan gambaran jual beli murabahah ini.
Murabahah adalah transaksi penjualan barang dengan
menyatakan harga perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual
dan pembeli.Pembayaran atas akad jual beli dapat dilakukan secara tunai maupun
kredit. Hal yang membedakan murabahah dengan jual beli lainnya adalah penjual
harus memberitahukan kepada pembeli harga barang pokok yang dijualnya serta
jumlah keuntungan yang diperoleh.
B. SISTEM GAMBARAN MURABAHAH
Dari definisi diatas dan praktek yang ada di lingkungan
lembaga keuangan syariat didunia dapat disimpulkan ada tiga bentuk:
1.
Pelaksanaan janji yang mengikat dengan kesepakatan antara dua pihak
sebelum lembaga keuangan menerima barang dan menjadi miliknya dengan
menyebutkan nilai keuntungannya dimuka . Hal itu dengan datangnya nasabah
kepada lembaga keuangan memohon darinya untuk membeli barang tertentu dengan
sifat tertentu. Keduanya bersepakat dengan ketentuan lembaga keuangan terikat
untuk membelikan barang dan nasabah terikat untuk membelinya dari lembaga
keuangan tersebut. Lembaga keuangan terikat harus menjualnya kepada nasabah
dengan nilai harga yang telah disepakati keduanya baik nilai ukuran, tempo dan
keuntungannya.
2.
Pelaksanaan janji (al-Muwaa’adah) tidak mengikat pada kedua belah
pihak. Hal itu dengan ketentuan nasabah yang ingin membeli barang tertentu,
lalu pergi ke lembaga keuangan dan terjadi antara keduanya perjanjian dari
nasabah untuk membeli dan dari lembaga keuangan untuk membelinya. Janji ini
tidak dianggap kesepakatan sebagaimana juga janji tersebut tidak mengikat pada
kedua belah pihak. Bentuk gambaran ini bisa dibagi dalam dua keadaan:
a.
Pelaksanaan janji tidak mengikat tanpa ada penentuan nilai keuntungan dimuka.
b. Pelaksanaan janji tidak mengikat dengan adanya penentuan nilai keuntungan yang akan diberikannya.
b. Pelaksanaan janji tidak mengikat dengan adanya penentuan nilai keuntungan yang akan diberikannya.
3.
Pelaksanaan janji mengikat lembaga keuangan tanpa nasabah. Inilah yang
diamalkan di bank Faishol al-Islami di Sudan. Hal itu dengan ketentuan akad
transaksi mengikat bank dan tidak mengikat nasabah sehingga nasabah memiliki
hak Khiyar (memilih) apabila melihat barangnya untuk menyempurnakan transaksi
atau menggagalkannya.
C. HUKUM BA’I MURABAHAH
Dalam islam,perdagangan dan perniagaan selalu dihubungkan
dengan nilai-nilai moral,sehingga semua transaksi bisnis yang bertentangan
dengan kebajikan tidaklah bersifat
islami.
· Al-Qur'an
"Hai
orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan (mengambil) harta
sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dengan jalan perniagaan
yang berlaku dengan suka rela diantaramu. . . . ." (QS.4:29)
"Allah telah menghalalkan jual
beli dan mengharamkan riba" (QS.2:275)
D. JENIS MURABAHAH
1.
Murabahah
Berdasarkan Pesanan/Murabahah Kepada Pemesan Pembelian (KPP)
Murabahah ini dapat bersifat mengikat atau tidak mengikat.
Mengikat bahwa apabila telah memesan barang harus dibeli sedangkan tidak
mengikat bahwa walaupun telah memesan barang tetapi pembeli tersebut tidak
terikat maka pembeli dapat menerima atau membatalkan barang tersebut.
2.
Murabahah
Tanpa Pesanan
Murabahah ini termasuk jenis
murabahah yang bersifat tidak mengikat. Murabahah ini dilakukan tidak melihat
ada yang pesan atau tidak sehingga penyediaan barang dilakukan sendiri oleh
penjual.
E. RUKUN DAN SYARAT MURABAHAH
Rukun Murabahah
Rukun adalah suatu elemen yang tidak dapat dipisahkan dari suatu kegiatan atau
lembaga, sehingga bila tidak ada salah satu elemen tersebut maka kegiatan tersebut dinyatakan tidak sah atau
lembaga tersebut tidak eksis.
Menurut Jumhur Ulama ada 4 rukun dalam murabahah, yaitu Orang yang menjual (Ba'I'), orang yang membeli (Musytari), Sighat dan barang atau sesuatu yang diakadkan.
Syarat Murabahah
1.
Penjual memberi tahu biaya modal
kepada nasabah
2. Kontrak
pertama harus sah sesuai dengan rukun yang ditetapkan
3. Kontrak
harus bebas dari riba
4. Penjual
harus menjelaskan kepada pembeli bila terjadi cacat atas barang sesudah pembelian
5. Penjual
harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika
pembelian dilakukan secara utang
Harga dan keuntungan harus
disebutkan begitu pula system pembayarannya, semuanya ini dinyatakan didepan
sebelum akad resmi (ijab qabul) dinyatakan tertulis. Apabila syarat ini tidak
dipenuhi, maka murabahah tidak boleh digunakan dan cacat menurut syariat.
·
Al-Hadist
Dari Abu Sa'id Al-Khudri , bahwa
Rasullulah Saw bersabda: "Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan suka
sama suka".(HR.al-Baihaqi,Ibnu Majah dan Shahi menurut Ibnu Hibban)
F.
KETENTUAN-KETENTUAN MURABAHAH
1. Jual
beli murabahah harus dilakukan atas barang yang telah dimiliki atau hak
kepemilikan telah berada ditangan penjual.
2. Adanya
kejelasan informasi mengenai besarnya modal (harga pembeli) dan biaya-biaya
lain yang lazim dikeluarkan dalam jual beli.
3. Ada
informasi yang jelas tentang hubungan baik nominal maupun presentase sehingga
diketahui oleh pembeli sebagai salah satu syarat sah murabahah.
4. Dalam
system murabahah, penjual boleh menetapkan syarat kepada pembeli untuk menjamin
kerusakan yang tidak tampak pada barang, tetapi lebih baik syarat seperti itu
tidak ditetapkan.
5. Transaksi
pertama (anatara penjual dan pembeli pertama) haruslah sah, jika tidak sah maka
tidak boleh jual beli secara murabahah (anatara pembeli pertama yang menjadi
penjual kedua dengan pembeli murabahah.
6. Harus
selalu diingat bahwa pada mula murabahah bukan merupakan bentuk pembiayaan,
melainkan hanya alat untuk menghndar dari “bunga”.
7. Murabahah
muncul bukan hanya untuk menggantikan “bungan” dengan “keuntungan”, melainkan
sebagai bentuk pembiayaan yang diperoleh oleh ulama syariah dengan
syarat-syarat tertentu.
KETENTUAN UMUM MURABAHAH
a.
Jaminan
Pada dasarnya, jaminan bukanlah satu
rukun atau syarat yang mutlak dipenuhi dalam bai’ al-murabahah. Jaminan
dimaksudkan untuk menjaga agar si pemesan tidak main-main dengan pesanan. Si
pembeli (penyedia barang/ bank) dapat meminta si pemesan (pemohon/ nasabah)
suatu jaminan (rahn) untuk dipegangnya. Dalam teknis operasionalnya,
barang-barang yang dipesan dapat menjadi salah satu jaminan yang bisa diterima
untuk pembayaran hutang.
b.
Penundaan Pembayaran
oleh Debitur Mampu
Seorang
nasabah yang mempunyai kemampuan ekonomis dilarang menunda penyelesaian
utangnya dalam al-murabahah ini. Bila seseorang pemesan menunda penyelesaian
utang tersebut, pembeli dapat mengambil tindakan: mengambil prosedur hukum
untuk mendapatkan kembali utang itu dan mengklaim kerugian finansial yang
terjadi akibat penundaan.
c.
Bangkrut
Jika pemesanan yang berutang dianggap pailit dan gagak
menyelesaikan utangnya karena benar-benar tidak mampu secara ekonomi dan bukan
karena lalai sedangkan ia mampu, kreditor harus menunda tagihan utang sampai ia
menjadi sanggup kembali.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas dapat
disimpulkan bahwa ba’i murabahah adalah salah satu produk dari lembaga keuangan
dimana pengetiannya adalah transaksi penjualan barang dengan menyatakan harga
perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual dan
pembeli.Pembayaran atas akad jual beli dapat dilakukan secara tunai maupun
kredit dan hukum dari murabahah sendiri adalah mubah sesuai ayat alquran
"Allah
telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba" (QS.2:275)
B. SARAN
Dengan tidak ada maksud untuk menggurui
atau mendoktrin sebuah pendapat, penulis menyarankan agar setiap transaksi
muamalat harus berlandaskan syariat dan tidak pula melanggar norma dan hukum
yang sudah ditetapkan oleh sistem masyarakat tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Suhendi, Hendi,
2010, Fiqih Muamalah, Jakarta, Rajawali pers
Ath-thayyar, Abdullah bin Muhamad. Al-muthlaq, Abdullah
bin Muhamad. Muhamad Bin Ibrahim 2004, Ensiklopedi fiqih muamalah,
yogyakarta, maktabah al-hanif
Ascarya, 2007, Akad
& Produk Bank Syariah, Jakarta, Rajagrafindo Indonesia
Antonio,muhamad, syafi’i, 2001, Bank
syariah dari teori ke praktik, Jakarta, gema insani
Tidak ada komentar:
Posting Komentar